Menjadi laki-laki memang cukup berat. Apalagi telah tergambar jelas, jika nantinya para lelaki akan menjadi qawwam atas istri dan anak-anak. Menjadi kepala keluarga yang sangat bertanggung jawab atas kehidupan orang-orang yang menyebut kita : suami, dan juga ayah. Menjadi seorang nahkoda yang seharusnya mampu melabuhkan anak dan istri kita di syurga. Maka, tak ayal lagi - kepemimpinan kita akan diuji dengan amanah sebuah keluarga. Pertanyaannya : Apakah kita telah sanggup mempersiapkannya dengan baik, atau malah menjadi salah satu penyebab suramnya masa depan istri dan anak-anak kita kelak?? Maka selagi muda, sudah seharusnya kita mempersiapkan segalanya.
Sudah seharusnya kita berfikir dewasa dan belajar menjadi orangtua. Karna masa depan generasi selanjutnya adalah tanggung jawab kita!!
Dalam sebuah training pernikahan, para peserta diminta untuk menuliskan rencana hidupnya saat berkeluarga. Dengan secarik kertas yang diberikan panitia, kami diminta untuk menuliskan impian, harapan, serta target-target yang harus dicapai selama berumah tangga. Seorang bapak duduk tepat disamping saya. Melihat saya cukup bersemangat menuliskan rencana masa depan, ia tersenyum. "Wah mas, semangat amat nulisnya, sepertinya sebentar lagi ya?", ujar bapak itu sambil tersenyum memandang saya."Ah enggak pak, masih lama", jawab saya sambil membalas senyumnya. Tak lama kemudian si bapak muda meminta untuk melihat rencana hidup saya yang kini sudah melebihi apa yang ditulisnya. Sebenarnya enggan untuk memberikannya, namun rasanya tak enak ketika menolaknya - karna sejujurnya saya malu ^^;
"Memang harus dipersiapkan mendetail seperti itu mas. Walaupun pada kenyataannya sangat sulit di praktekan setelahnya. Biasa lah namanya juga berumah tangga. 6 bulan pertama indah, 6 bulan selanjutnya sangat indah, setahun setelahnya terserah anda...", ujar si bapak sambil terus menyunggingkan senyumnya. Saya sempat senyam-senyum sendiri dibuatnya. Jadi makin berfikir : Begitukah pernikahan? manisnya hanya dirasakan saat-saat tahun pertama, tahun selanjutnya : penuh derita.
Yah, begitulah orangtua. Selalu membandingkan impian kita dengan pengalaman mereka. Namun begitulah hidup, harus kita akui - selalu ada saripati hikmah yang dapat kita petik dari kisah hidup mereka.
Memang tidak bisa dipungkiri. Dari sebagian besar cerita yang pernah saya dengar, tidak sedikit diantara para orangtua yang pernikahannya kandas di tengah jalan. Peliknya permasalahan rumah tangga rasanya tak sesederhana teori, atau sebatas 'skenario' yang biasa ditampilkan di pelbagai sinetron. Semuanya adalah realitas hidup. Tidak melulu diributkan dengan permasalahan yang besar ternyata, masalah-masalah kecilpun kadang menggelombang, dan akhirnya membentur karang kesetiaan dan cinta yang dulu dibangunnya.
Mulai dari tidak enaknya masakan istri, suami yang pulang larut malam tanpa konfirmasi, pekerjaan rumah tangga yang menumpuk, anak-anak yang nakal di usia remaja, sampai ketika kecemburuan dan perhatian tak lagi diberikan sesuai kebutuhan. Belum lagi polemik dari permasalahan finansial bagi mereka yang tak cukup mapan. Rasanya setiap permasalahan itu adalah sebuah ujian yang pasti menghampiri siapapun ketika telah berlayar dalam bahtera keluarga. Dan bisa tidak bisa, kita harus melewatinya. Oleh sebab itu, sebaiknya kita mendewasakan diri sebelum permasalahan-permasalahan itu merenggut kebahagiaan kita..
Cukup banyak yang saya tuliskan dalam secarik kertas yang diberikan panitia. Rencana agenda harian, mingguan, bahkan targetan-targetan yang seharusnya dapat dicapai secepatnya. Rentetan detail yang sebenarnya masih mengawang (karna belum pengalaman), berjejer dalam secarik kertas hingga penuh. Ahh, beginikah rencana hidup, berfikir dalam 5 menit saja sudah cukup memusingkan, apalagi dikemudian hari harus menghadapinya secara nyata untuk menjalani kehidupan. Namun begitulah hidup, rencana kita adalah ikhtiar untuk menciptakan nasib kita.
Hahhh,,, rasanya apa yang saya tuliskan ini bukan sekedar mimpi. Tapi kewajiban yang harus saya penuhi. Seakan gambaran masa depan semakin dekat dipandangan. Bayangan anak-anak yang menagih uang saku, bayar SPP, mainan, dan berbagai keperluan lainnya. Belum lagi untuk keperluan rumah tangga : Bayar listrik, bahan makanan, membeli perabotan rumah tangga, menyekolahkan anak hingga kuliah, sampai pada meng-hajikan orangtua dan mertua. Dan tahukah? Ketika kita mencoba menghitungnya secara mendetail - saya pastikan : tidak ada seorangpun yang siap menikah dengan segera! Walaupun telah nyata dihadapannya seorang wanita yang siap untuk dilamarnya, atau telah bulat keputusan mertua untuk menikahkan kita dengan anak mereka!!
Namun begitulah cinta. Semuanya harus diwujudkan dengan logika. Harus diperhitungkan. Karna konsekuensi dari cinta adalah membahagiakan. Ketika kita berlindung dan mencari aman dengan dalih "Cinta itu menerima apa adanya", maka saat itulah kita harus tersadar, bahwa kita bukanlah pecinta sejati, dan kita tidak berhak merasakannya. Karna cinta adalah sumber energi untuk memperbaiki diri. Membuat kita yang bukan siapa-siapa menjadi papa. Membuat kita yang apa adanya menjadi luar biasa. Dan yang perlu ditegaskan, jangan pernah mengatakan : Siapkah kau hidup bersamaku dalam derita? Relakah kau kiranya kisah kita tak selamanya indah???
Hentikan ucapan pengecut seperti itu. Ketika kita tak mampu menjanjikan kebahagiaan pada orang yang kita cintai, patutkah kita mencintainya? Jika cinta kita hanya membawanya lebih menderita, lebih baik putuskan segera, buang ia jauh-jauh, dan iklaskan wanita yang kita cintai itu menikah dengan pria yang lebih baik dari kita. Relakan ia bersama seorang lelaki tangguh yang berani menjanjikan kebahagiaan selamanya. Karna konsekuensi cinta adalah membahagiakan!! Membuatnya tumbuh berkembang, menggapai langit, hingga membersamai kita menikmati syurga. Begitulah cinta yang berkah, selalu menawarkan kebaikan.
Kalau banyak orang bilang : Cinta itu tak butuh logika.
Maka, saatnya kita memperbaiki paradigma.
Sungguh, cinta itu sangat membutuhkan logika.
Karna logika, memaksa kita mewujudkan cinta dalam bahasa kerja!!
Sudah seharusnya kita berfikir dewasa dan belajar menjadi orangtua. Karna masa depan generasi selanjutnya adalah tanggung jawab kita!!
Dalam sebuah training pernikahan, para peserta diminta untuk menuliskan rencana hidupnya saat berkeluarga. Dengan secarik kertas yang diberikan panitia, kami diminta untuk menuliskan impian, harapan, serta target-target yang harus dicapai selama berumah tangga. Seorang bapak duduk tepat disamping saya. Melihat saya cukup bersemangat menuliskan rencana masa depan, ia tersenyum. "Wah mas, semangat amat nulisnya, sepertinya sebentar lagi ya?", ujar bapak itu sambil tersenyum memandang saya."Ah enggak pak, masih lama", jawab saya sambil membalas senyumnya. Tak lama kemudian si bapak muda meminta untuk melihat rencana hidup saya yang kini sudah melebihi apa yang ditulisnya. Sebenarnya enggan untuk memberikannya, namun rasanya tak enak ketika menolaknya - karna sejujurnya saya malu ^^;
"Memang harus dipersiapkan mendetail seperti itu mas. Walaupun pada kenyataannya sangat sulit di praktekan setelahnya. Biasa lah namanya juga berumah tangga. 6 bulan pertama indah, 6 bulan selanjutnya sangat indah, setahun setelahnya terserah anda...", ujar si bapak sambil terus menyunggingkan senyumnya. Saya sempat senyam-senyum sendiri dibuatnya. Jadi makin berfikir : Begitukah pernikahan? manisnya hanya dirasakan saat-saat tahun pertama, tahun selanjutnya : penuh derita.
Yah, begitulah orangtua. Selalu membandingkan impian kita dengan pengalaman mereka. Namun begitulah hidup, harus kita akui - selalu ada saripati hikmah yang dapat kita petik dari kisah hidup mereka.
Memang tidak bisa dipungkiri. Dari sebagian besar cerita yang pernah saya dengar, tidak sedikit diantara para orangtua yang pernikahannya kandas di tengah jalan. Peliknya permasalahan rumah tangga rasanya tak sesederhana teori, atau sebatas 'skenario' yang biasa ditampilkan di pelbagai sinetron. Semuanya adalah realitas hidup. Tidak melulu diributkan dengan permasalahan yang besar ternyata, masalah-masalah kecilpun kadang menggelombang, dan akhirnya membentur karang kesetiaan dan cinta yang dulu dibangunnya.
Mulai dari tidak enaknya masakan istri, suami yang pulang larut malam tanpa konfirmasi, pekerjaan rumah tangga yang menumpuk, anak-anak yang nakal di usia remaja, sampai ketika kecemburuan dan perhatian tak lagi diberikan sesuai kebutuhan. Belum lagi polemik dari permasalahan finansial bagi mereka yang tak cukup mapan. Rasanya setiap permasalahan itu adalah sebuah ujian yang pasti menghampiri siapapun ketika telah berlayar dalam bahtera keluarga. Dan bisa tidak bisa, kita harus melewatinya. Oleh sebab itu, sebaiknya kita mendewasakan diri sebelum permasalahan-permasalahan itu merenggut kebahagiaan kita..
Cukup banyak yang saya tuliskan dalam secarik kertas yang diberikan panitia. Rencana agenda harian, mingguan, bahkan targetan-targetan yang seharusnya dapat dicapai secepatnya. Rentetan detail yang sebenarnya masih mengawang (karna belum pengalaman), berjejer dalam secarik kertas hingga penuh. Ahh, beginikah rencana hidup, berfikir dalam 5 menit saja sudah cukup memusingkan, apalagi dikemudian hari harus menghadapinya secara nyata untuk menjalani kehidupan. Namun begitulah hidup, rencana kita adalah ikhtiar untuk menciptakan nasib kita.
Hahhh,,, rasanya apa yang saya tuliskan ini bukan sekedar mimpi. Tapi kewajiban yang harus saya penuhi. Seakan gambaran masa depan semakin dekat dipandangan. Bayangan anak-anak yang menagih uang saku, bayar SPP, mainan, dan berbagai keperluan lainnya. Belum lagi untuk keperluan rumah tangga : Bayar listrik, bahan makanan, membeli perabotan rumah tangga, menyekolahkan anak hingga kuliah, sampai pada meng-hajikan orangtua dan mertua. Dan tahukah? Ketika kita mencoba menghitungnya secara mendetail - saya pastikan : tidak ada seorangpun yang siap menikah dengan segera! Walaupun telah nyata dihadapannya seorang wanita yang siap untuk dilamarnya, atau telah bulat keputusan mertua untuk menikahkan kita dengan anak mereka!!
Namun begitulah cinta. Semuanya harus diwujudkan dengan logika. Harus diperhitungkan. Karna konsekuensi dari cinta adalah membahagiakan. Ketika kita berlindung dan mencari aman dengan dalih "Cinta itu menerima apa adanya", maka saat itulah kita harus tersadar, bahwa kita bukanlah pecinta sejati, dan kita tidak berhak merasakannya. Karna cinta adalah sumber energi untuk memperbaiki diri. Membuat kita yang bukan siapa-siapa menjadi papa. Membuat kita yang apa adanya menjadi luar biasa. Dan yang perlu ditegaskan, jangan pernah mengatakan : Siapkah kau hidup bersamaku dalam derita? Relakah kau kiranya kisah kita tak selamanya indah???
Hentikan ucapan pengecut seperti itu. Ketika kita tak mampu menjanjikan kebahagiaan pada orang yang kita cintai, patutkah kita mencintainya? Jika cinta kita hanya membawanya lebih menderita, lebih baik putuskan segera, buang ia jauh-jauh, dan iklaskan wanita yang kita cintai itu menikah dengan pria yang lebih baik dari kita. Relakan ia bersama seorang lelaki tangguh yang berani menjanjikan kebahagiaan selamanya. Karna konsekuensi cinta adalah membahagiakan!! Membuatnya tumbuh berkembang, menggapai langit, hingga membersamai kita menikmati syurga. Begitulah cinta yang berkah, selalu menawarkan kebaikan.
Kalau banyak orang bilang : Cinta itu tak butuh logika.
Maka, saatnya kita memperbaiki paradigma.
Sungguh, cinta itu sangat membutuhkan logika.
Karna logika, memaksa kita mewujudkan cinta dalam bahasa kerja!!
~Inspiring Moment~
Workshop Marriage Management
Jatinangor, 8 Mei 2011
Workshop Marriage Management
Jatinangor, 8 Mei 2011
0 komentar:
Posting Komentar