Post Update :

Catatan Perjalanan Dakwah : Di Balik Pundak yang Tegar

Sabtu, 30 April 2011

Jalan dakwah bukanlah jalan yang tepiannya bertabur bunga. Jalan ini adalah jalan yang penuh kerikil, duri, bahkan dipenuhi hewan buas yang siap memangsa siapa saja yang melewatinya. Bahkan terkadang penuh fitnah, cerca dan caci, dari setiap orang yang tidak menyenangi jalan ini. Jalan ini bukanlah jalan yang rata, tanpa kelokan, tanpa tanjakan. Bukan pula jalan yang teduh, tanpa terik matahari laksana atmosfir subuh hari yang sejuk dinikmati. Jalan ini adalah jalan yang berbatu, peluh liku, bahkan kadangkala kita harus memanjat tebing agar sampai di tempat yang ingin kita tuju. Banyak yang berguguran di sini, banyak yang tak sempat berbunga sebelum musim semi. Banyak yang berguguran di tengah perjalanan. Banyak diantaranya yang lari berpaling, memilih jalan yang dirasa lebih aman, tanpa ujian, tanpa ada halang melintang - memilih untuk lebih terlena memikirkan nasib diri sendiri. Namun, dari sebagian besar yang berpaling dari jalan ini, selalu ada yang bertahan hingga singgah di pelabuhan yang Allah janjikan. Pelabuhan dari setiap halte pemberhentian, dari pelabuhan lelah di dunia, hingga melabuh di Syurga yang disediakan oleh-Nya.....

Sore itu, seorang akh berjalan dengan tertunduk. Mukanya masam, raut wajahnya mencerminkan guratan-guratan permasalahan yang mendalam. Setahu saya, ia adalah orang yang seringkali terlihat ceria, mudah tersenyum, bergaul, dan pandai beretorika. Biasanya, jiwanya selalu hangat dengan semangat. Gelora-nya mampu menularkan energi positif kepada orang-orang yang berada di sekelilingnya. Namun kini ia tertunduk layu, lesu, dan hanya menatap tanah. Laksana pohon yang hampir tumbang, lalu terlalu mudah diterpa angin hingga akarnya tercerabut dari tanah. Entah apa yang menimpanya saat ini, yang jelas ia benar-benar terlihat menyimpan banyak masalah.

"Antum kenapa akh?", tanyaku pada nya."Ehh, gak apa-apa", jawabnya sesingkat sapaanku padanya.

Sekilas ia tersentak. Sepertinya cukup terkagetkan dengan sapaan sederhana yang saya lontarkan. Saya tahu, betapapun banyaknya pertanyaan yang dilontarkan kepadanya, ia tak-kan membuka mulut untuk menceritakan permasalahan dirinya. Ia sangat terbuka dengan permasalahan orang lain, selalu siap membuka diri sebagai 'tempat sampah' dari keluhan teman-temannya, bahkan seringkali memberikan solusi dari setiap permasalahan orang lain. Namun sebaliknya, ia sangat tertutup dengan permasalahan dirinya.

Suatu ketika, saya menemukannya menangis di sandaran dinding. Dari balik tirai kamarnya, suaranya cukup terdengar sendu. Ya, hari itu bukanlah sepertiga malam, yang biasa menjadi tempat mengaduh dan berdo'a, yang biasa diselingi dengan isak tangisan. Waktu itu sore hari - waktu dimana banyak orang tertawa dan disibukkan dengan rutinitas hariannya. Sempat ingin saya ketuk pintu kamarnya perlahan, lalu menanyakan apa yang terjadi padanya. Namun setelah difikir ulang, saya rasa ia sedang membutuhkan kemerdekaan untuk menikmati kesendirian.

Akhir-akhir ini, saya semakin sering melihatnya termenung. Semakin sering melihatnya mengerutkan dahi dibanding tersenyum lebar seperti dulu kala. Rasanya cukup rindu mendengar gurauan yang kadang membuat tawa. Selalu rindu melihatnya menularkan semangat kepada siapapun yang berada di dekatnya. Semangatnya hanya menggelora ketika ia mengisi di pelbagai seminar dan pelatihan. Suaranya yang kadang terserak saat muhasabah yang menggetarkan, seringkali membuat tangisan sekaligus ledakan motivasi untuk memperbaiki diri. Saat ini, saya hanya menemukan dirinya 'hidup' saat berada di hadapan banyak orang, namun seperti melihat 'mayat mati' ketika ia berada dalam kesendirian. bersambung.....

Share this Article on :

0 komentar:

Posting Komentar

 

© Copyright Afief Alkhawarizm 2010 -2011 | Design by Afief Alkhawarizm | Published by Khawarizm's.net | Powered by AK-Team.