Perjalanan ini membuatku merenung tentang hidup. Di kala matahari kian terbenam di barat, saat petang memberikan rona pekat di atas langit dunia. Kerlipan lampu yg disorotkan kendaraan membuat malam ini begitu kontras dg pekatnya. Sore tadi, dalam perjalanan, saya memandangi gunung dari kejauhan. Ada rona biru yg tertangkap mata saat memandanginya, padahal yg saya tahu gunung terdiri dari rombongan pepohonan yang hijau walau tak tertata. Saya merasa bersalah ketika harus Menikmati keindahan pegunungan dari kejauhan. Karna ia menampakkan wujud semu dengan warnanya. Atau mungkin mata ini yg tak mampu menatap utuh hijaunya pegunungan dari kejauhan. Saya jadi teringat tentang yg biasa terjadi pada mata ini.
Saat mata kita tak mampu melihat dunia secara utuh, atau ketika kita terlalu cepat menilai seseorang dari penampilannya, yang cantik dr kejauhan hingga melupakan kejernihan hati dari kedekatan. Atau saat mata ini terperdaya oleh bayang2 semu dari kelezatan dunia, hingga kita termabukkan saat meminumnya. Gambaran alam membuatku banyak belajar tentang arti kehidupan. Saat melihat burung di angkasa yg terbang bersama. Mengepak sayap tanpa lelah, hingga sampai di tempat tujuan. Kebersamaan mereka saat terbang ternyata membuat mereka Bertahan saat harus melawan awan. Menerjang tekanan angin yg berhembus kencang. Adakalanya mereka bertukar posisi, ketika kawanan burung yg didepan tak kuat lagi menantang angin di garda terdepan. Naluri seakan sudah menjadi otak yg berfikir cepat, Mengatur mereka bergerak hingga mampu memperbaiki keadaan koloni agar seimbang. Mereka terus terbang, melewati perbukitan bahkan hutan.
Jakarta di malam hari. Tidak ada perubahan dan hanya ada keramaian.. Kendaraan masih banyak berlalu lalang hingga kemacetan tak terelakkan. Ibukota sepertinya tidak memiliki perbedaan yang signifikan saat pagi ataupun malam hari, tetap ramai, macet, bahkan bising. Seakan kota ini tak pernah mati dengan sunyi, terus hidup dengan keramaian disana sini. Mata ini tak sengaja menatap lusuh seorang anak kecil dengan baju yang kumal sedang memegang gitar mungilnya. Memainkan melodi petikan gitar dengan suara sumbangnya, berpindah dari mobil ke mobil. Terkadang ia tak mendapatkan recehan dari penumpang, dan kembali ke mobil lain untuk mempromosikan kemalangan. Terkadang aku berfikir tentang kota ini. Ibukota bukankah cerminan dari negara? seharusnya lebih maju, lebih tertata, lebih makmur, atau seharusnya bisa memamerkan kelebihan lainnya. Tapi di Jakarta, aku tidak menemukan satupun keistimewaan yang patut dibanggakan. Rumah kumuh berjejeran di pinggir sungai, pedagang kaki lima berserakan di jalan, fasilitas umum tidak terawat, angkutan umum amburadul. Ahhh,, sepertinya atmosfir tidak mengenakan sering terhirup disini.
Tiba saatnya saya harus turun dari angkutan. Berhenti di pinggir jalan dan selanjutnya menyebrang memasuki stasiun Tanjung Barat, salah satu stasiun pemberhentian kereta di sudut kota Jakarta. Mobil dan kendaraan lainnya masih berlalu lalang dengan kencang, membuat saya dan beberapa pejalan kaki lainnya terpaksa menunggu sampai arus lalu lintas mereda. Seorang ibu tampak ragu untuk menyebrang. Kalau harus menunggu sampai jalanan lengang, mungkin sampai subuhpun aku harus berdiri di pinggir jalan ini fikirku. Akhirnya saya memaksa untuk menerobos arus lalu lintas yang masih padat kendaraan. Anehnya, Pengendara masih menancap gas kendaraan mereka walaupun melihat pejalan kaki yang melambaikan tangan sebagai isyarat agar pengendara meredakan kecepatan. Berbeda saat melihat sebuah negara di luar sana. Ketika melihat para pejalan kaki ingin menyebrang, semua pengendara mobil berinisiatif untuk berhenti dan mempersilahkan pejalan kaki untuk menyebrang terlebih dahulu, begitu cerita yang pernah kudengar dari seorang dosen yang biasa melanglang buana ke mancanegara. Sungguh santun sepertinya.
Stasiun Kereta ini ternyata sudah diperbaiki. Yah walaupun tidak begitu mewah, tapi sudah disulap sederhana sehingga cukup pantas digunakan sebagai fasilitas manusia. Berbeda saat 2 tahun lalu. Stasiun dimana-mana bisa diidentikkan sebagai pasar dan tempat sampah karna tak terawat dan tak tertata. Sampah dagangan berserakan dimana-mana, tempat duduk penumpang untuk menunggu disulap menjadi meja dagangan. Itu sebagian kecil potret 2 tahun silam, dan bersyukur ternyata pemerintah sudah meperbaikinya saat ini. Tak lama kereta kelas ekonomi yang ingin saya tumpangi akhirnya tiba. Mungkin ini yang tak berubah, jutaan manusia berdesakan dalam rentetan gerbong kusang. Kalau saya sudah bekerja, mungkin tak memilih kendaraan alternatif ini untuk ditumpangi. Untuk keluarpun sulit apalagi untuk masuk. Melihat jam sudah cukup malam, saya terpaksa menerobos dengan paksa, bahkan terkadang terpaksa menyikut tubuh penumpang yang bergelayutan di pinggir pintu. Kekerasan disini diperbolehkan dan menjadi sesuatu hal yang wajib dilakukan. Kalau mau main lembut silakan cari taksi dan siap bayar mahal untuk sampai di tujuan. Itu Hukum Penumpang di Kereta Kelas Ekonomi. Tapi bagi saya ini bukan lagi kelas Ekonomi, tapi lebih cocok disebut sebagai Kereta Ekonomi Kelas Teri! Coba bayangkan saja, tidak ada tempat untuk bepijak, karna saat itu kaki saya diinjak! Kesal rasanya kalau untuk kaki saja tak ada tempat. Bau anyir keringat membuat terkadang mabuk. Disini bukan lagi oksigen yang dihirup, tapi aroma ketiak yang menyebarluas karna sebagian besar penumpang mengangkat tangannya untuk berpegangan ke besi pegangan. Terkadang udara bercampur parfum aneh dengan aroma tak jelas. Kasihan untuk penumpang dengan badan yang tidak tinggi, karna terkadang mereka terpaksa mencium ketiak orang lain dari kedekatan. Berbicara hijab?? tak ada peraturan itu disini. Penumpang ibarat teri yang yang dimasukkan paksa tanpa melihat jenis kelamin. Keadaan gerbong gelap, karna sebagian lampu sudah rusak. Untuk orang baru, sepertinya pengalaman ini menjadi sesuatu yang memuakkan.
Stasiun demi stasiun terlewati, kini telah sampai di salah satu stasiun yang cukup besar dengan muatan penumpang yang cukup banyak. Stasiun Depok tidak berubah. Masih tidak terawat, dan masih banyak pedagang kaki lima yang tidak tertata dengan baik. Diluar stasiun tampak lebih suram bahkan, karna pasar malam kian menjamur tak karuan, memadati pinggiran rel maupun jalanan. Penumpang berdesakan keluar, saling dorong dan sikut takut kereta segera beranjak. Akhirnya kepengapan sedikit berkurang. Rasa mual terobati. Saya memandangi malam dari dalam, walaupun masih berdiri, seakan tubuh begitu terpaku. Kerlipan lampu di perumahan, kendaraan yang berlalu lalang, hembusan angin, obrolan dan teriakan pedangan seakan menyatu, berpadu menghiasi kota ini. Malam saya pandangi berkabut. Ada embun yang menempel di kaca mata, ada tetesan air yang bergulir dari retina. Ada do'a yang tak mampu terucap.
Alhamdulillah, terima kasih Allah. Engkau masih memberikan aku umur untuk kembali...
Depok, 26 Juli 2010
Afief Alkhawarizm
Saat mata kita tak mampu melihat dunia secara utuh, atau ketika kita terlalu cepat menilai seseorang dari penampilannya, yang cantik dr kejauhan hingga melupakan kejernihan hati dari kedekatan. Atau saat mata ini terperdaya oleh bayang2 semu dari kelezatan dunia, hingga kita termabukkan saat meminumnya. Gambaran alam membuatku banyak belajar tentang arti kehidupan. Saat melihat burung di angkasa yg terbang bersama. Mengepak sayap tanpa lelah, hingga sampai di tempat tujuan. Kebersamaan mereka saat terbang ternyata membuat mereka Bertahan saat harus melawan awan. Menerjang tekanan angin yg berhembus kencang. Adakalanya mereka bertukar posisi, ketika kawanan burung yg didepan tak kuat lagi menantang angin di garda terdepan. Naluri seakan sudah menjadi otak yg berfikir cepat, Mengatur mereka bergerak hingga mampu memperbaiki keadaan koloni agar seimbang. Mereka terus terbang, melewati perbukitan bahkan hutan.
Jakarta di malam hari. Tidak ada perubahan dan hanya ada keramaian.. Kendaraan masih banyak berlalu lalang hingga kemacetan tak terelakkan. Ibukota sepertinya tidak memiliki perbedaan yang signifikan saat pagi ataupun malam hari, tetap ramai, macet, bahkan bising. Seakan kota ini tak pernah mati dengan sunyi, terus hidup dengan keramaian disana sini. Mata ini tak sengaja menatap lusuh seorang anak kecil dengan baju yang kumal sedang memegang gitar mungilnya. Memainkan melodi petikan gitar dengan suara sumbangnya, berpindah dari mobil ke mobil. Terkadang ia tak mendapatkan recehan dari penumpang, dan kembali ke mobil lain untuk mempromosikan kemalangan. Terkadang aku berfikir tentang kota ini. Ibukota bukankah cerminan dari negara? seharusnya lebih maju, lebih tertata, lebih makmur, atau seharusnya bisa memamerkan kelebihan lainnya. Tapi di Jakarta, aku tidak menemukan satupun keistimewaan yang patut dibanggakan. Rumah kumuh berjejeran di pinggir sungai, pedagang kaki lima berserakan di jalan, fasilitas umum tidak terawat, angkutan umum amburadul. Ahhh,, sepertinya atmosfir tidak mengenakan sering terhirup disini.
Tiba saatnya saya harus turun dari angkutan. Berhenti di pinggir jalan dan selanjutnya menyebrang memasuki stasiun Tanjung Barat, salah satu stasiun pemberhentian kereta di sudut kota Jakarta. Mobil dan kendaraan lainnya masih berlalu lalang dengan kencang, membuat saya dan beberapa pejalan kaki lainnya terpaksa menunggu sampai arus lalu lintas mereda. Seorang ibu tampak ragu untuk menyebrang. Kalau harus menunggu sampai jalanan lengang, mungkin sampai subuhpun aku harus berdiri di pinggir jalan ini fikirku. Akhirnya saya memaksa untuk menerobos arus lalu lintas yang masih padat kendaraan. Anehnya, Pengendara masih menancap gas kendaraan mereka walaupun melihat pejalan kaki yang melambaikan tangan sebagai isyarat agar pengendara meredakan kecepatan. Berbeda saat melihat sebuah negara di luar sana. Ketika melihat para pejalan kaki ingin menyebrang, semua pengendara mobil berinisiatif untuk berhenti dan mempersilahkan pejalan kaki untuk menyebrang terlebih dahulu, begitu cerita yang pernah kudengar dari seorang dosen yang biasa melanglang buana ke mancanegara. Sungguh santun sepertinya.
Stasiun Kereta ini ternyata sudah diperbaiki. Yah walaupun tidak begitu mewah, tapi sudah disulap sederhana sehingga cukup pantas digunakan sebagai fasilitas manusia. Berbeda saat 2 tahun lalu. Stasiun dimana-mana bisa diidentikkan sebagai pasar dan tempat sampah karna tak terawat dan tak tertata. Sampah dagangan berserakan dimana-mana, tempat duduk penumpang untuk menunggu disulap menjadi meja dagangan. Itu sebagian kecil potret 2 tahun silam, dan bersyukur ternyata pemerintah sudah meperbaikinya saat ini. Tak lama kereta kelas ekonomi yang ingin saya tumpangi akhirnya tiba. Mungkin ini yang tak berubah, jutaan manusia berdesakan dalam rentetan gerbong kusang. Kalau saya sudah bekerja, mungkin tak memilih kendaraan alternatif ini untuk ditumpangi. Untuk keluarpun sulit apalagi untuk masuk. Melihat jam sudah cukup malam, saya terpaksa menerobos dengan paksa, bahkan terkadang terpaksa menyikut tubuh penumpang yang bergelayutan di pinggir pintu. Kekerasan disini diperbolehkan dan menjadi sesuatu hal yang wajib dilakukan. Kalau mau main lembut silakan cari taksi dan siap bayar mahal untuk sampai di tujuan. Itu Hukum Penumpang di Kereta Kelas Ekonomi. Tapi bagi saya ini bukan lagi kelas Ekonomi, tapi lebih cocok disebut sebagai Kereta Ekonomi Kelas Teri! Coba bayangkan saja, tidak ada tempat untuk bepijak, karna saat itu kaki saya diinjak! Kesal rasanya kalau untuk kaki saja tak ada tempat. Bau anyir keringat membuat terkadang mabuk. Disini bukan lagi oksigen yang dihirup, tapi aroma ketiak yang menyebarluas karna sebagian besar penumpang mengangkat tangannya untuk berpegangan ke besi pegangan. Terkadang udara bercampur parfum aneh dengan aroma tak jelas. Kasihan untuk penumpang dengan badan yang tidak tinggi, karna terkadang mereka terpaksa mencium ketiak orang lain dari kedekatan. Berbicara hijab?? tak ada peraturan itu disini. Penumpang ibarat teri yang yang dimasukkan paksa tanpa melihat jenis kelamin. Keadaan gerbong gelap, karna sebagian lampu sudah rusak. Untuk orang baru, sepertinya pengalaman ini menjadi sesuatu yang memuakkan.
Stasiun demi stasiun terlewati, kini telah sampai di salah satu stasiun yang cukup besar dengan muatan penumpang yang cukup banyak. Stasiun Depok tidak berubah. Masih tidak terawat, dan masih banyak pedagang kaki lima yang tidak tertata dengan baik. Diluar stasiun tampak lebih suram bahkan, karna pasar malam kian menjamur tak karuan, memadati pinggiran rel maupun jalanan. Penumpang berdesakan keluar, saling dorong dan sikut takut kereta segera beranjak. Akhirnya kepengapan sedikit berkurang. Rasa mual terobati. Saya memandangi malam dari dalam, walaupun masih berdiri, seakan tubuh begitu terpaku. Kerlipan lampu di perumahan, kendaraan yang berlalu lalang, hembusan angin, obrolan dan teriakan pedangan seakan menyatu, berpadu menghiasi kota ini. Malam saya pandangi berkabut. Ada embun yang menempel di kaca mata, ada tetesan air yang bergulir dari retina. Ada do'a yang tak mampu terucap.
"Rabb, kutitipkan seuntai do'a untuk saudara2ku yang senantiasa menjaga agama-Mu. Saat hanya ada ucapan yang mampu tuk saling menguatkan, saat raga tak lagi bersama, atau langkah yg tak sama menapak. Pertemukan kami sebelum ajal menanti. Semoga..."
Alhamdulillah, terima kasih Allah. Engkau masih memberikan aku umur untuk kembali...
Depok, 26 Juli 2010
Afief Alkhawarizm