Post Update :

Berdakwah dengan hikmah.....

Minggu, 20 Juni 2010

“ Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan Hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabb-mu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl:125)

Seorang da’i yang telah bertahun-tahun berguru agama di Timur Tengah, akhirnya pulang ke kampung halamannya. Dari penampilan da'i tersebut, nampaknya matang benar ilmu agama yang telah dimilikinya. Di kampung halamannya iapun langsung buka pesantren. Muridnyapun lumayan banyak. Masyarakatpun menaruh harapan pada sang da'i tersebut.Tapi apa yang terjadi, lama-kelamaan masyarakat makin menjauh dari da'i tersebut. Padahal ajaran yang disampaikan oleh sang da'i sangat bagus. Semua bersumber dari Al-qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Hampir tak ada yang melenceng. “Kami tidak mau melenceng dari Al-qur'an dan Sunnah Rasul walau se-inchi pun,” ucapnya kepada penulis di suatu ketika.Lalu kenapa masyarakat semakin menjauhi bahkan mulai memusuhinya? Apakah karena masyarakat setempat anti terhadap Quran dan Sunnah? Tidak! Atau karena ada dendam pribadi kepada sang da'i? Tidak juga. Selidik punya selidik, ternyata menjauhnya masyarakat kepada da'inya itu dikarenakan cara berdakwah sang da'i yang menumbuhkan rasa antipati masyarakat. Sang da'i, begitu pulang kampung dan melihat prilaku beribadah warga yang dinilainya tidak sesuai ajaran Islam yang sebenarnya, kontan saja tanpa tedeng aling-aling menyalahkan warga.

Ritual-ritual keagaamaan yang telah berlangsung puluhan bahkan ratusan tahun dan dinilainya tak pernah dicontohkan oleh Nabi, kontan “disikatnya”. Zikir-zikir kematian, cara menguburkan jenazah, maulud nabi, dan sejumlah kegiatan lainnya yang kerap dilakukan warga, langsung dikata-katai bid'ah. Semua yang bid'ah adalah sesat, dan yang sesat tempatnya di neraka. Secara tak langsung sang da'i berucap, bahwa pelaku bid'ah bakal nyungsep ke neraka.Tidak sampai di situ, sejumlah tuan guru yang jadi panutan warga, yang telah berjasa puluhan tahun mengajarkan Islam kepada warga, turut pula dikata-katai sebagai ahli bid'ah dan sesat. Secara tak langsung sang da'i memastikan bahwa sejumlah tuan guru tersebut bakal dapat kavlingan di neraka. Tak tanggung-tanggung, media yang digunakan untuk mengeluarkan pernyataan-pernyataan pedas ini adalah forum khutbah Jumat dan melalui pengajian dengan loudspeaker. Tidak hanya dengan kata-kata tapi juga dengan perbuatan. Sang da'i beserta sejumlah muridnya kerap secara demonstratif menunjukkan keberbedaannya dengan masyarakat banyak dalam sejumlah tata cara ibadah. Masyarakatpun jadi tegang, pro-kontra. Sebagian kecil mendukung sang da'i, sebagian besar lainnya mulai geram.Meski tahu dirinya dibenci warga, sang da'i rupanya tak gentar.

“Setiap perjuangan ada resikonya termasuk dibenci. Nabipun dulunya demikian,” ucapnya kepada penulis. Dan memang dari hari kehari, terus saja sang da'i melakukan dakwah “hantam kromo”. Semua yang dianggapnya bid'ah dihantam dengan kata-kata. Nampaknya keinginan sang da'i adalah ingin cepat bisa merubah prilaku ibadah warga agar kembali kepada ajaran Islam yang menurutnya murni. Memang, niat sang da'i sungguh mulia. Tapi sayang, karena dakwahnya dilakukan dengan cara hantam kromo, maka wargapun menyambut dakwah sang da'i dengan cara hantam kromo pula. Rumah beserta pesantren sang da'i diobrak-abrik warga, dan sang da'i diusir dari kampungnya. Sang da'i beserta muridnyapun akhirnya mengungsi. Dakwahnya terhenti di tengah jalan, nyaris tanpa hasil. Seperti kata orang bijak: Air jadi keruh, teratai rusak, ikanpun lari.

Dalam berdakwah tidak cukup hanya bermodal hafalan ayat dan hadis, tapi juga harus ditunjang dengan ilmu metodologi dakwah. Sebelum melaksanakan tugas dakwah, ada baiknya mempelajari dulu kondisi masyarakat yang akan didakwahi, baik karakter, pemahaman, sosial psikologis, ekonomi, kesiapan menerima hal yang dianggap “baru” dan lain sebagainya. Dengan bekal itu seorang da'i bisa memilih metode, kata-kata, dan prilaku yang pas dengan masyarakat yang akan didakwahi. Dengan demikian obyek yang akan didakwahi bisa menerimanya tanpa harus menciptakan “ketegangan” terlebih dahulu. Lain daerah lain pula metode yang bisa diterapkan. Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya, begitu kata pepatah.

Hal ini sesuai dengan perintah Allah pada ayat di awal tulisan ini. Coba perhatikan dengan seksama ayat di atas, mengapa Alloh mengedepankan kata “hikmah”, setelah itu baru disebutkan tentang “pelajaran yang baik”. Kenapa tidak langsung saja Allah menyuruh kita berdakwah dengan pelajaran yang baik? Makna kata “hikmah” pada ayat tersebut kira-kira maksudnya adalah bagaimana cara agar kita berdakwah sesuai dengan kondisi, tingkat pemahaman, ketaatan, maupun sosial psikologis masyarakat yang kita dakwahi. Bagaimana berdakwah agar masyarakat yang kita dakwahi tidak tersinggung, pecah, tegang, “konslet” bahkan lari sebelum didakwahi. Dengan kata lain para da’i diminta untuk terlebih dahulu bisa menarik simpati obyek yang akan kita dakwahi. Atau istilah kerennya
pe-de-ka-te. Bila simpati masyarakat telah kita dapati, maka dengan sendirinya masyarakat akan mudah mengikuti ajakan kita. Apabila orang sudah suka dan senang kepada kita, maka jangankan kata-kata yang kita ucapkan benar, walau kata-kata kita salah sekalipun, tetap akan dibenarkan.

Contoh lain dapat kita lihat dari sebuah kisah teladan yang patut dijadikan pijakan. Ketika kita sebagai pemegang amanah dakwah hendak menjadikan waktu kita berarti dalam rangka menyebarluaskan ajaran islam agar dapat dikecap oleh semua kalangan, baik muda maupun tua, baik kaum intelektual, maupun kaum marginal.. Kisah seorang nabi yang sangat bijaksana dalam menyampaikan risalah ke-nabiannya, Ibrahim Alaihissalam..

Perhatikanlah, bagaimana Allah SWT menguji hamba-hamba-Nya. Renungkanlah bentuk ujian tersebut. Kita sekarang berada di hadapan seorang nabi yang hatinya merupakan hati yang paling lembut dan paling penyayang di muka bumi. Hatinya penuh dengan cinta kepada Allah SWT dan cinta kepada makhluk-Nya. Nabi Ibrahim mendapatkan anak saat beliau menginjak usia senja, padahal sebelumnya beliau tidak membayangkan akan memperoleh karunia seorang anak.

Nabi Ibrahim tidur, dan dalam tidurnya beliau melihat dirinya sedang menyembelih anaknya, anak satu-satunya yang dicintainya. Timbullah pergolakan besar dalam dirinya. Sungguh salah kalau ada orang mengira bahwa tidak ada pergolakan dalam dirinya. Nabi Ibrahim benar-benar diuji dengan ujian yang berat. Ujian yang langsung berhubungan dengan emosi kebapakan yang penuh dengan cinta dan kasih sayang. Nabi Ibrahim berpikir dan merenung. Kemudian datanglah jawaban bahwa Allah SWT melihatkan kepadanya bahwa mimpi para nabi adalah mimpi kebenaran. Dalam mimpinya, Nabi Ibrahim melihat bahwa ia menyembelih anak satu-satunya. Ini adalah wahyu dari Allah SWT dan perintah dari-Nya untuk menyembelih anaknya yang dicintainya.

Sebagai pecinta sejati, Nabi Ibrahim tidak merasakan kegelisahan dari hal tersebut. Ia tidak "menggugat" perintah Allah SWT itu. Nabi Ibrahim adalah penghulu para pecinta. Nabi Ibrahim berpikir tentang apa yang dikatakan kepada anaknya ketika ia menidurkannya di atas tanah untuk kemudian menyembelihnya. Lebih baik baginya untuk memberitahu anaknya dan hal itu lebih menenangkan hatinya daripada memaksanya untuk menyembelih. Akhirnya, Nabi Ibrahim pergi untuk menemui anaknya. "Ibrahim berkata: 'Wahai anakku sesungguhnya aku melihat di dalam mimpi, aku menyembelihmu, maka bagaimana pendapatmu???. " (QS. ash-Shaffat: 102). Perhatikanlah bagaimana kasih sayang Nabi Ibrahim dalam menyampaikan perintah kepada anaknya. la menyerahkan urusan itu kepada anaknya; apakah anaknya akan menaati perintah tersebut. Bukankah perintah tersebut adalah perintah dari Tuhannya? Subhaanallah, seorang nabi yang sungguh bijaksana, dengan kelembutan hatinya ia membuka ruang diskusi dalam menjalankan amanah kenabiannya. Walaupun ia tau bahwa perintah Allah diatas segalanya, tak pandang bulu kepada siapa ia dialamatkan,, Nabi Ibrahim sangat yakin bahwa ketika Ismail menerima maupun menolak perintah dari Allah SWT pun, ia tetap akan melakukannya. Namun sungguh kemuliaan Ibrahim dengan hikmah dakwah yang ia ajarkan : MEMBUKA RUANG DISKUSI!!!!

Ismail menjawab sama dengan jawaban dari ayahnya itu bahwa perintah itu datangnya dari Allah SWT yang karenanya si ayah harus segera melaksanakannya: "Wahai ayahku kerjakanlah yang diperintahkan Tuhanmu. Insya Allah engkau mendapatiku sebagai orang-orang yang sabar." (QS. ash-Shaffat: 102).. Subhanaallah, keluarga yang amat bijaksana.. mampu menyampaikan dengan hikmah, dan menerima perintah Allah dengan ikhlas..

Sahabat, dakwah begitu indah, begitu manis untuk dikecap siapa saja yg menikmatinya. Namun terkadang cara-cara kita membuat amanah dakwah ini terlihat begitu pahit dan masam. Terkadang kita terlalu menganggap sepele dalam meramu-nya untuk disajikan dalam hidangan yang sederhana. Hingga banyak orang enggan untuk meneguknya... Sepertinya kita perlu banyak belajar, bagaimana menyampaikan agar mudah diterima, tanpa menggurui, tanpa menghakimi...

"Terkadang, yang sering menghalangi seseorang untuk ikut dalam agenda kebaikan bukanlah karena menolak substansi akan sebuah kebenaran, tapi melihat CARA yang kurang tepat yang kita lakukan dalam menyampaikan agenda kebaikan..."

Wallahu A'lam bishshawab....

Inspirasi : Dari berbagai sumber
Share this Article on :

0 komentar:

Posting Komentar

 

© Copyright Afief Alkhawarizm 2010 -2011 | Design by Afief Alkhawarizm | Published by Khawarizm's.net | Powered by AK-Team.